Sabtu, 21 Juli 2012

PEMBERANTASAN KEJAHATAN KEHUTANAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI


PEMBERANTASAN KEJAHATAN KEHUTANAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
      Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
      Bila dilihat dari terminologi Korupsi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Korup adalah busuk, suka menerima uang suap, uang sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Koruptor adalah orang yang korupsi. (Suharso, Retnoningsih, 2003: 267)
      Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berhubungan dengan kejahatan kehutanan adalah peraturan yang memiliki sanksi pidana, perdata serta administratif, sanksi ini digunakan untuk penegakan hukum.
     Saat ini banyak yang menyatakan bahwa kejahatan kehutanan sangat terkait dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal yang terkait adalah Pasal 2 dan Pasal 3 yang berbunyi :
Pasal 2
    1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
    2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
                                                                               
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur –unsur yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1)  adalah :
  1. Setiap orang
  2. Secara melawan hukum
  3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
  4. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Unsur-unsur pada Pasal 3 adalah :
  1. Setiap orang
  2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
  3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
  4. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Rumusan pada Pasal 2 dan Pasal 3 ini adalah rumusan yang bersifat abstrak dan memiliki cakupan yang luas.
Menurut Adhami Chazawi segi positif dari rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 ialah cakupannya sangat luas, yang oleh karena itu lebih mudah menjerat si pembuat. Selain itu rumusan yang abstrak seperti ini lebih mudah mengikuti arus perkembangan masyarakat, melalui penafsiran hakim. Namun segi negatifnya, mengurangi kepastian hukum, akibat terbukanya peluang dan kecenderungan yang lebih luas bagi jaksa dan hakim yang tidak baik untuk menggunakan Pasal ini secara serampangan. Lebih-lebih lagi apabila sejak awal perkara sudah diskenario atau diatur sedemikian rupa oleh orang-orang kuat di belakangnya. (Chazawi, 2003: 27)
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini adalah “secara melawan hukum “ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum masa “merugikan keuangan atau perekonomian Negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
      Unsur dalam tindak pidana korupsi yaitu haruslah secara melawan hukum, sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mempunyai arti ganda, baik sebagai melawan hukum materil maupun melawan hukum formil. Penjelasan seperti ini dapat mempermudah pembuktian tentang keberadaan sifat tercelanya dari suatu perbuatan yang nyata-nyata untuk memperkaya. Apabila suatu perbuatan tertentu sebagai wujud dari memperkaya yang tidak terlarang menurut hukum tertulis, tetapi apabila diukur dari sudut nilai-nilai misalnya keadilan, kepatutan yang hidup di masyarakat sebagai perbuatan tercela, maka celaan menurut nilai masyarakat itu adalah juga telah masuk dalam pengertian sifat melawan hukum atas perbuatan memperkaya menurut Pasal 2.  Pengertian perbuatan memperkaya dalam Pasal 2 dan Pasal 3, perbuatan memperkaya diri yakni memperkaya diri sendiri, memperkaya diri orang lain, dan memperkaya diri suatu korporasi. Memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat sendirilah yang memperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah, memperkaya diri orang lain adalah sebaliknya, orang yang kekayaannya bertambah atau memperoleh kekayaannya adalah orang lain selain si pembuat dan memperkaya diri suatu korporasi, bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya oleh perbuatannya tetapi suatu korporasi, walaupun si pembuat tidak memperoleh atau bertambah kekayaannya, tetapi beban tanggung jawab pidananya disamakan dengan dirinya secara pribadi mendapatkan kekayaan. (Chazawi, 2003)
      Bila melihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP maka penjelasan Pasal 2 Undang-undang Korupsi ini terjadi pertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.
Asas –asas hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, banyak pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat (1) KUHP antara lain :
  1. Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu.
  2. Mempunyai makna “ undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”
  3. Mempunyai makna “lex temporis delicti” yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu. (Poernomo, 1994:68)
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 2 Undang-undang Korupsi disebutkan  meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Bila kita bandingkan dalam buku Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam rangka kerjasama hukum Indonesia – Belanda disebutkan :
Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita, bahwa :
  1. suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
  2. Ketentuan pidana itu harus lebih dulu ada daripada perbuatan itu; dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
  3. Ayat 2 Pasal 1 KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa. (J.E. Sahetapy (ed), 1995: 3)
Penjelasan Pasal 2 tersebut dengan pengertian Pasal 1 KUHP bahwa pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan ada pertentangan karena dalam Pasal 2 perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
      Melihat Pasal 2 dan Pasal 3 beserta penjelasannya, bahwa undang-undang korupsi ini menggunakan asas legalitas dalam hukum pidana yang menurut Bambang Poernomo:
yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada” a crime is a socially dangerous act of commission or omission as prescribed in criminal law”. Pada ajaran ini asas legalitas diberikan ciri, bukan perlindungan individu akan tetapi kepada negara dan masyarakat, bukan kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja akan tetapi menurut ketentuan hukum berdasarkan ukuran membahayakan masyarakat, oleh karena itu tidak mungkin ada perbuatan jahat yang timbul kemudian dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum. Adagium yang dipakai ajaran ini menurut G.W Paton dinamakan “ nullum crimen sine poena” (Poernomo,1994:73)
Menurut Pompe yang dikutip oleh Bambang Poernomo yang mendasarkan sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas – asas, oleh karena itu keempat asas itu dapat dipersatukan menjadi suatu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi.
Di lihat dari penjelasan diatas maka sangat jelas perlindungan dari undang-undang korupsi lebih dititik beratkan pada perlindungan terhadap kepentingan dan kewibawaan Negara serta masyarakat bukan terhadap pelaku sebagai subjek hukum.
      Untuk penerapan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 dengan kejahatanIllegal logging  perlu untuk dicermati juga pendapat Vos yaitu :
Vos  mengemukakan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka di situ telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wessen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan. (Poernomo, 1994: 90)
Pasal 2 dan Pasal 3 adalah delict dalam arti Wesenchau yang merupakan kelakuan untuk mencocoki ketentuan yang dirumuskan dan apabila sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan tersebut. Ini terjadi karena Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 memiliki makna yang bersifat umum, sehingga untuk menerapkan suatu perbuatan yang memiliki makna korupsi harus di lihat secermat mungkin.
      Bila dilihat dari terminologi Korupsi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Korup adalah busuk, suka menerima uang suap, uang sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Koruptor adalah orang yang korupsi. (Suharso, Retnoningsih, 2003: 267)
      Penggunaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini merupakan suatu terobosan untuk melakukan pemberantasan terhadap semua kejahatan kehutanan, sampai saat ini yang perlu untuk dinanti apakah peraturan perundang-undangan ini sudah atau akan diterapkan dilapangan oleh penyidik dari kepolisian, kejaksaan maupun dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
       Penerapan undang-undang korupsi ini lebih menekankan untuk menjerat para “cukong”, pejabat pemerintah yang menerima suap sehingga terjadinya kegiatan kejahatan kehutanan, karena didalam undang-undang kehutanan tidak ada pengaturan tentang bagaimana orang yang memberi suap dan yang menerima suap. Ada beberapa kendala dalam penerapan undang-undang ini , kendalanya bisa dilihat dari indikasi kasus – kasus kehutanan yang terjadi dan melibatkan banyak unsur dan banyak orang serta peredaran uang yang sangat banyak sehingga untuk menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Korupsi haruslah benar-benar teliti, karena seperti yang disampaikan oleh chazawi segi negatifnya, mengurangi kepastian hukum, akibat terbukanya peluang dan kecenderungan yang lebih luas bagi jaksa dan hakim yang tidak baik untuk menggunakan Pasal ini secara serampangan. Lebih-lebih lagi apabila sejak awal perkara sudah diskenario atau diatur sedemikian rupa oleh orang-orang kuat di belakangnya. Kendala lainnya adalah mencari fakta-fakta hukum dan alat bukti serta keterangan yang bisa menegaskan bahwa kasus kehutanan merupakan kasus yang melawan hukum, memperkaya diri pribadi, orang lain dan korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Salah satu contoh adalah unsur  “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara “ saat ini belum ada batasan bagaimana suatu kawasan hutan yang pohonnya ditebang dihitung kerugian negaranya, kebiasaan yang terjadi adalah menghitung dari jumlah pohon yang ditebang atau jumlah kubikasinya, jenis pohon/kayu yang ditebang dan berapa harga di pasaran kemudian ditambahkan dengan iuran-iuran yang wajib dibayarkan kepada negara dan bila ketemu hasilnya maka itu merupakan kerugian negara, itu bila secara umum terjadi dikawasan hutan produksi dan ternyata diberlakukan juga terhadap kayu yang berasal dari kawasan hutan konservasi, sedangkan kerugian-kerugian lain berupa rusaknya ekosistem dan ekologi, akibat yang akan datang berupa bencana banjir, longsor dan kerusakan tata air, punahnya jenis satwa dan tumbuhan yang merupakan nilai abstrak tidak dapat diukur nilai kerugian negara. Menurut Undang Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  bahwa yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Pejabat, Lembaga Negara,  baik di tingkat pusat maupun didaerah; (2) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
      Hutan beserta semua keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada didalamnya merupakan kekayaan negara yang tak ternilai harganya, apabila hutan hancur, ekosistem rusak dan jenis-jenis flora dan fauna tertentu terutama yang langka punah maka dapat dipastikan negara sangat dirugikan, karena kekayaan tersebut yang terkandung didalamnya sangat bernilai nyata.
Semua hutan salah satunya adalah hutan konservasi memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan memberikan udara yang dinikmati oleh semua orang baik yang berada disekitarnya maupun yang jauh, hutan memberikan kualitas air yang baik dan menjaga tata kelola, air dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar hutan maupun jauh diluar kawasan, air digunakan untuk irigasi petanian, perkebunan, pembangkit listrik, dan juga untuk menjaga wilayah agar tidak terjadi banjir, longsor, dan bencana alam lainnya yang dapat menyebabkan kerugian secara langsung kepada masyarakat baik materiil maupun immaterial.
Flora dan fauna yang ada didalam hutan banyak yang belum teridentifikasi kegunaannya, sebagian dipakai oleh masyarakat local untuk dijadikan bahan-bahan obat tradisional, apabila kekayaan hutan tersebut hancur maka dengan sendirinya kekayaan Negara ini ikut hancur. Pemanfaatan secara nyata dengan konsep lestari dapat menjadikan sumber pemasukan yang menopang perekonomian Negara, hal ini yang menyebabkan bahwa hutan sangat perlu dijaga dan masuk dalam kategari sebuah kekayaan negara yang dijaga kelestariannya.
      Penerapan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk menjerat para cukong dan penerima suap, perlu dibuat secermat mungkin oleh penyidik dan penuntut umum, ini dilakukan karena Pasal 2 dan Pasal 3 merupakan suatu ketentuan yang bersifat umum atau bisa dikatakan abstrak.
      Penggunaan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dapat saja diterapkan dan sudah beberapa kasus akhirnya terungkap salah satunya adalah pemberi suap dan penerima suap pada kasus alih fungsi hutan, apabila dimungkinkan ini bisa menjadi sebuah preseden dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan bidang kehutanan. Kasus-kasus seperti perambahan hutan, illegal logging dalam skala besar yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar, perburuan liar yang melibatkan pihak-pihak tertentu.
       Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memang memiliki hukuman yang termasuk berat. Penerapan hukuman terhadap para pelaku kejahatan bidang kehutanan dilapangan dirasa cukup dengan menggunakan Pasal-Pasal yang ada di kedua undang-undang tersebut tetapi apabila akan menerapkan pada para actor intellectual, orang-orang yang menyuruh melakukan serta para donator dan penerima suap sangat dibutuhkan terobosan-terobosan hokum yang dapat menimbulkan efek jera. Saat ini apabila melihat kasus-kasus bidang kehutanan hanya sampai pada tingkat para pelaku dilapisan bawah yang memang tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan kejahatan bidang kehutanan, padahal dari para pelaku dilapangan bisa dikembangkan dan ditelusuri kepada para pemodal, dan tidak menutup kemungkinan pihak-pihak yang ikut bermain dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap ancaman tersebut.
      Salah satu kendala dalam penerapan undang-undang tindak pidana korupsi adalah para Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Departemen Kehutanan tidak dapat melakukan penyidikan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 karena bukan kewenangannya seperti yang diatur pada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindakan yang dapat dilakukan PPNS Departemen Kehutanan adalah berkoordinasi dengan Penyidik Polri dan Kejaksaan ataupun dengan penyidik KPK dengan memberikan bahan-bahan keterangan yang berisi fakta dan data mengenai para pelaku atau cukong yang melakukan kegiatan kejahatan kehutanan sehingga dapat dilakukan tindak lanjut dalam penanganan kasus-kasus tersebut.
      Kemampuan dari Penyidik memang sangat dibutuhkan untuk melakukan terobosan hokum ini tetapi perlu diingat bahwa kejahatan terhadap kehutanan tetap terlebih dahulu mengedepankan semua aturan yang terkait dengan kehutanan seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi hanya diberlakukan pada kasus-kasus tertentu terutama untuk menjerat para cukong/pemilik modal yang merupakan actor intellectual dari kejahatan terhadap kehutanan sehingga dengan diterapkan aturan tersebut kepada para cukong dapat juga memberikan efek jera terhadap para pelaku mulai dari pelaku dilapangan, pemilik modal, dan oknum-oknum yang ikut terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, 2003, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.
_____________, 2005, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Echols, M John, Shadily, Hassan, 2000, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Poernomo, Bambang, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sahetapy, J.E. (ed), 1995, Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana  dalam rangka kerjasama hukum Indonesia – Belanda, Liberty Yogyakarta
Suharso, Retnoningsih, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar