Apa kabar ? tentu baik-baik saja pastinya, semoga
sama seperti apa yang tertuang di akun sosmedmu, sudah lama tak jumpa ketika
kita putuskan bahwa yang baik adalah berpisah, kau melanjutkan hidupmu dan
akupun begitu, seperti apa yang kukatakan
bahwa selamanya adalah ungkapan dongeng yang menutupi rasa ketakutan
akan kehilangan. Pada akhirnya ini
terjadi dan sudah kita jalani, semuanya sudah terencana dan direncanakan oleh
yang biasa kita sebut ‘TUHAN’. Kapan aku terlahir, siapa ibuku, kapan aku
bertemu kau dan kaupun kurasa begitu.
Hari ini mendung, dan aku terpaku menunggu hujan
yang jatuh menghantam bumi, tidak terasa telah banyak yang berubah, waktu,
tingkah, pemikiran, apapun terkecuali nama. Ketika kau ingin mengulang kembali
apa yang telah berakhir, kau tak akan merasakan cinta yang sama meski dengan
orang yang sama pada keadaan yang berbeda. Entah apa nantinya, kita hanya
menjalani apa yang sudah di rencanakannya.
Kita ibarat minggu dan senin, dekat, tapi untuk
bertemu harus menunggu berhari-hari. Kau sibuk menjalani aktifitasmu, akupun
juga begitu, dan sekarang semua menjadi sama saja, kau sedang menjalani
impianmu dan aku masih menikmati hari-hariku. Teruskan, tak perlu memikirkan
apa yang diluar kemampuan kita.
Seketika akhirnya hujan datang membawa tetesan
kenangan yang terlintas begitu saja, tangan tak mampu menyapu pilu, terasa
nyilu di hati sendu, peluh yang tak luluh berujung keruh, kornea menjadi basah
sedikit memerah, air mata hanya petunjuk bagi spesies lain. Aku tidak begitu
merindukanmu, hanya ingin melihat wajahmu, sudahlah, skenario yang di buat
mungkin seperti ini, menikmati kepingan
asa tanpa pamrih menjadi pelayan otak, berlalu menjadi khalifah mencari arti sebuah
perjumpaan ?
Ini tidak cocok di sebut malam dan tidak patut di
katakan pagi, menikmati kopi dan hari yang begitu asing bagiku. Menatap
bias-bias air hujan membasahi kaca jendela kamar, merasakan udara dingin
menyusup di sela-sela ventilasi yang memaksa menyeruput kopi, Tenang
perempuanku, ada kala kita bertemu sebelum penghujung waktu. Masih adakah
nikmat melebihi ini ? ketika gula dan kopi beradu didalam cangkir rindu ? kopi
seperti tanaman surga yang sengaja diturunkan kebumi oleh Tuhan bagi
pecandunya. Apa jadinya ketika dunia ini tanpa kopi ? seperti apa artinya kita
ketika tanpa kamu ? itu harapku.
Oh tidak, berani-beraninya aku telah lancang untuk
mengingatmu, sedangkan aku tak pernah tau apakah kau memikirkanku kini, tapi
itu hak ku, memikirkan siapapun yang ku mau tanpa peduli apakah kau
memikirkanku apa tidak. Lihatlah di ufuk timur sana, dikala hujan mulai reda,
mentari seakan malu menampakkan dirinya. Apakah kau melihat ? atau masih asik
bercumbu dengan guling kesayanganmu ?
Kopiku sudah habis, menyisakan ampas yang begitu
pekat seperti kisah pahit yang teramat kelat, ku katakan pada mentari, bulan
akan tetap ada di pagi ini meski sinar terhalang olehnya, seperti sebagaimana
mungkin aku mencari pelangi dimalam hari ? akan sama hasilnya ketika mencari
bintang di pagi hari.
Hai perempuanku selaras berembun begitu suci
mencari sebuah arti, terlalu egois rasanya ketika rasa tak pernah peduli atas
rasa.
Aku mungkin bukan Adam yang mencari Hawa atau Rama
berperang dengan Rahwana untuk mendapatkan kembali Shinta atau terlebih lagi
seperti Ken Arok yang terpesona melihat betis Ken Dedes.
Tak peduli kau, temanmu atau siapapun, Jangankan
iblis, malaikatpun tak bisa menentangku mencinta tanpa perintah Tuhan !
Ketika nikmat dari secangkir kopi adalah pahit,
teruslah campakan aku !
Tapi, bagaimanapun aku mengagumimu, tak akan ku
jadikan kau ‘BERHALA’ bagiku.
Tak perlu mencariku karna aku tetap ada disini,
menikmati sisa-sisa ampas kopi yang tak ingin ku sudahi, sama lah ketika aku
menikmati pertemuan dan mengihklaskan perpisahan apabila memang harus terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar